Fenomena Godoksa Mengatasi Kesedihan, Kesendirian, Kesepian Menurut Salla Sutta
- Kelas Dhamma
- January 8, 2023
- 7 minutes read
Sabbe saṅkhārā aniccāti. Yadā paññāya passati.
Atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiyā.
Segala bentukan adalah tidak kekal. Bila dilihat dengan kebenaran.
Itu akan dapat mengakhiri ketidakpuasan. Itulah jalan untuk mencapai kesucian.
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Kehidupan di dunia ini tidak dapat diramalkan dan tidak menentu mengalami proses perubahan. Bahkan kehidupan ini sangatlah sulit, pendek, dan dipenuhi oleh ketidakpuasan maupun penderitaan, suatu makhluk yang saat dilahirkan, akan mengalami kematian dan tidak ada jalan keluar darinya. Ketika usia tua atau penyebab lainnya tiba, maka kematian merupakan suatu peristiwa yang pasti terjadi kepada siapa saja. Begitu dilahirkan, setiap orang pasti menuju kematian. Ketika buah-buahan masak, mereka mungkin akan jatuh di pagi hari, seperti itu pula halnya suatu makhluk, sekali dilahirkan bisa meninggal kapan pun juga.
Seperti halnya pot tanah liat yang digarap pembuat tembikar akan cenderung berakhir dan hancur lebur, begitu kehidupan makhluk hidup. Baik yang muda maupun yang tua, tak peduli apakah mereka dungu atau bijaksana, akan terjebak dalam kematian. Mereka dikuasai oleh kematian. Mereka akan pergi ke dunia lain. Tak ada seorang ayah pun yang dapat menyelamatkan putranya. Tak ada keluarga yang dapat menyelamatkan sanak saudaranya. Lihatlah, sementara sanak keluarga memandang, menangis dan meraung-raung, manusia diusung satu demi satu, bagaikan ternak yang dibawa menuju ke tempat pembantaian.
Jadi, kematian dan usia tua adalah penyakit dunia. Oleh karenanya, orang bijaksana tidak bersedih hati melihat sifat dunia ini. Engkau tidak mengetahui jalan dari mana dia berasal, atau ke mana dia pergi. Maka tidak ada gunanya menangisi dia. Manusia yang bersedih tidak memperoleh apa pun. Dia tidak lebih hanyalah seorang dungu yang berusaha untuk menyakiti dirinya sendiri. Jika orang bijaksana melakukan hal ini, berarti dia sama dungunya. Kedamaian pikiran tidak dapat diperoleh dari menangis dan meratap.
Justru sebaliknya, tindakan itu akan membawa menuju penderitaan yang lebih besar dan rasa sakit yang lebih mendalam. Orang yang berkabung akan menjadi pucat dan kurus. Dia melakukan tindakan kekerasan terhadap dirinya sendiri, dan tetap saja dia tidak dapat membuat yang mati hidup lagi; tidak ada gunanya dia berkabung. Orang yang tidak dapat meninggalkan kesedihannya hanyalah berkelana lebih jauh ke dalam penderitaan. Perasaan berkabung itu membuatnya menjadi budak kesedihan. Lihatlah makhluk yang menghadapi kematian, yang mengalami hasil dari tindakan-tindakan mereka sebelumnya.
Orang-orang amat ketakutan ketika melihat bahwa mereka terperangkap oleh kematian. Apa yang diharapkan agar terjadi selalu berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi. Dari sini muncul kekecewaan yang besar. Begitulah dunia bekerja. Orang bisa hidup selama seratus tahun, atau bahkan lebih, tetapi akhirnya toh dia terpisah dari sanak keluarganya, dan dia pun meninggalkan kehidupan di dunia ini. Jadi kita dapat mendengar dan belajar dari orang yang agung ketika dia meninggalkan kesedihannya. Ketika dia melihat bahwa seseorang telah mati dan meninggalkan kehidupan mereka, dia berkata ‘dia tidak akan terlihat olehku lagi.’ Ketika sebuah rumah terbakar, apinya dipadamkan dengan air.
Seperti itu pula orang bijaksana, yang terampil, berpengetahuan dan mandiri, segera memadamkan kesedihan begitu kesedihan itu muncul dalam dirinya, bagaikan angin yang menghalau segumpal kapas. Orang yang berusaha mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri harus menarik keluar anak panah yang telah ditancapkannya pada dirinya sendiri. Kepala anak panah ini adalah kesedihan, nafsu keinginan, keputusasaan. Orang yang telah mencabut keluar anak panah itu, yang tidak lagi memiliki kemelekatan, yang telah memperoleh kedamaian pikiran, berjalan melampaui semua kesedihan. Orang ini, karena telah terbebas dari kesedihan, menjadi tenang. (Salla Sutta/Snp 3.8).
Tidak ada seorang pun yang mampu menghindar dari kematian. Tidak para raja, bangsawan, dan bahkan para hartawan. Tidak ada harta yang mampu membeli kematian. Kematian tidak mengenal usia. Bukan saja orang tua, bayi yang baru lahir pun mengalaminya. Yang sehat dan bugar pun dijemput oleh kematian. Waktunya tidak pasti. Namun kematiannya pasti. “Peti mati bukan untuk orang tua. Peti mati untuk orang mati”. Nasihat ini perlu diingat baik-baik agar selalu siap bila kematian datang.
Lalu, apa yang harus disiapkan sebagai bekal? Tidak lain dan tidak bukan adalah kebajikan. Setiap kebaikan yang pernah dilakukan untuk makhluk lain, setiap perbuatan melalui ucapan, tindakan dan pikiran yang bermanfaat bagi dunia dan lingkungan, setiap pertolongan bagi orang yang sedang kesusahan, adalah setetes demi setetes kebajikan yang dikumpulkan di wadah kebajikan. Kebajikan yang telah diakumulasikan semasa hidup adalah baik menjelang kematian. Pelaku kebajikan terlahir kembali di alam surga (Ayyikāsutta/SN 3.22).
Faktor penyebab fenomena “godoksa” dilansir dari CNN, Minggu (18/12/2022), di bawah hukum Korsel, masalah godoksa mendapat perhatian nasional selama dekade terakhir karena jumlah kematian akibat kesepian meningkat. Faktor-faktor di balik tren tersebut termasuk krisis demografi negara, kesenjangan kesejahteraan sosial, kemiskinan dan isolasi sosial. Semua faktor ini menjadi lebih jelas terlihat sejak pandemi Covid-19. Menurut laporan yang dirilis Minggu (25/12/2022), Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel mencatat ada 3.378 kematian karena godoksa. Angka tersebut naik dari 2.412 kematian yang tercatat pada 2017.
Meskipun kematian akibat kesepian memengaruhi orang-orang di berbagai demografi, laporan tersebut menunjukkan pria paruh baya dan lanjut usia tampak sangat berisiko. Jumlah pria yang menderita kematian kesepian 5,3 kali lipat lebih tinggi dari wanita pada tahun 2021. Angka itu naik dari empat kali lipat sebelumnya. Artinya, laki-laki lebih rentan menderita kematian kesepian ketimbang perempuan. Selain itu, ada juga laporan data mengenai usia jenazah. Menurut laporan, 60 persen kematian godoksa terdiri dari orang-orang berusia 50-an dan 60-an pada tahun lalu, dengan jumlah besar di usia 40-an dan 70-an tahun juga. Namun, ada juga orang berusia 20-an dan 30-an tahun yang meninggal karena godoksa, dengan menyumbang 6 persen hingga 8 persen.
Laporan itu juga membahas fenomena tersebut telah dipelajari selama bertahun-tahun ketika pihak berwenang mencoba memahami apa yang mendorong kematian yang sepi ini, dan bagaimana cara yang lebih baik untuk mendukung orang-orang yang rentan. “Dalam mempersiapkan masyarakat lanjut usia, penting untuk secara aktif menanggapi kematian yang kesepian,” kata badan penelitian legislatif Korea Selatan dalam rilis berita awal tahun ini. Mereka menambahkan bahwa prioritas pemerintah adalah dengan cepat mengidentifikasi kasus isolasi sosial.
Menurut berita tersebut marilah kita sebagai masyarakat yang memahami arti penting hakikat kehidupan, akan mengatasi bahaya dari anak panah yang terdapat dalam ulasan Salla Sutta dengan “bahaya” yang merupakan sebutan untuk kenikmatan indria. “Penderitaan” adalah sebutan untuk kenikmatan indria. ‘Penyakit’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. “Bisul” adalah sebutan untuk kenikmatan indria. ‘Anak panah’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. “Ikatan” adalah sebutan untuk kenikmatan indria. ‘Rawa’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. “Rahim” adalah sebutan untuk kenikmatan indria. “Mengapakah, “bahaya” adalah sebutan untuk kenikmatan indria? Seseorang yang tergerak oleh nafsu indriawi, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebas dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan ini atau dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘bahaya’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria.
Dan mengapakah “penderitaan”, “penyakit”, “bisul”, “anak panah”, “ikatan”, “rawa”, “rahim” merupakan sebutan untuk kenikmatan indria? Seseorang yang tergerak oleh nafsu indriawi, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebas dari rahim yang berhubungan dengan kehidupan ini atau dari rahim yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘rahim’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. Bahaya, penderitaan, dan penyakit, bisul, anak panah, dan ikatan, rawa dan rahim: ini menggambarkan kenikmatan-kenikmatan indria yang padanya kaum duniawi terikat. Karena terbenam dalam apa yang dinikmati Ia sekali lagi pergi menuju rahim. Tetapi ketika seorang tekun dan tidak mengabaikan pemahaman jernih dengan cara demikian ia melampaui lumpur kesengsaraan ini; ia mengamati populasi yang goyah ini yang telah jatuh ke dalam kelahiran dan penuaan. (AN 8.56: Bhaya Sutta).