Bungah Hati Sang Pundarika
- Puja Bakti Umum
- February 18, 2024
- 4 minutes read
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
“Yathā saṅkāradhānasmiṁ ujjhitasmiṁ mahāpathe, padumaṁ tattha jāyetha sucigandhaṁ manoramaṁ. Evaṁ sankārabhūtesu andhabhūte puthujjane, atirocati paññāya sammāsambuddhasāvako’ti.”
“Seperti halnya teratai nan wangi menyenangkan hati tumbuh di sarap sampah yang dibuang di tepian jalan besar, siswa Sammāsambuddha bercahaya cemerlang karena kebijaksanaannya di antara para puthujjana buta yang laksana sarap sampah.”
(Dhammapada Puppha Vagga 58-58)
Lumpur ketidaktahuan (kebodohan) yang telah mengendap dalam hati setiap insan perlahan namun pasti merusak, menghancurkan, menyesatkan kehidupannya yang telah berjalan sedemikian lama. Tiada diketahui pangkal-ujungnya mereka dari waktu ke waktu mengembara tanpa arah tujuan, memperjuangkan setetes embun kebahagiaan yang belum tentu didapatkannya. Kebahagiaan yang diperjuangkan dengan keringat, tetesan air mata, dan kucuran darah bahkan dapat membutakan hati, menggelapkan matanya. Ketidaktahuan akan apa yang disebut sebagai ‘kebahagiaan’ dan cara untuk mendapatkannya menyebabkan ia melakukan berbagai cara meski terkadang jerih-payahnya harus dibayar dengan nyawa. Suatu kewajaran karena mereka belum mengetahui secara sebenarnya, tidak bisa menyalahkan apalagi merendahkan.
Masyarakat dunia, sedari dulu hingga saat ini senantiasa mengejar kebahagiaan yang nampak dalam kehidupan ini (diṭṭhadhamma-hitasukha) dan kebahagiaan yang berkaitan dengan kehidupan selanjutnya (samparāyika-hitasukha).
Bermodalkan pandangan keliru, penderitaan yang dianggap sebagai kebahagiaan terus dicari, terus dikejar tanpa tahu pasti apakah yang dikejarnya adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Sejauh kebahagiaan yang didapat masih dalam tataran duniawi maka kebahagiaan itu masih penuh dengan bahaya dan akan memunculkan rasa sakit di kemudian hari. Surga yang didamba meski nampak begitu memuaskan, itupun hanya sebagai tempat persinggahan sementara yang bila masa waktu di sana telah habis, makhluk tersebut akan berkelana kembali sesuai dengan himpunan karma baik dan buruk yang dibawanya.
Dunia yang sudah tidak bersih (kotor) ini dihuni oleh berbagai jenis manusia, individu dengan berbagai macam sifat dan karakter yang berakarkan pada keserakahan, kebencian, dan ketersesatan. Sekian banyak individu hidup di kubangan lumpur yang sama, merasakan beban derita yang sama sehingga mau tidak mau harus menggantungkan kehidupannya antara satu dengan yang lain. Tiadanya sosok pembimbing yang berkemampuan menjadi sebab utama kebingungan mereka. Sekian lama mereka mencari, namun tidak menemukannya, di akhir dari pencarian saat keadaan mengharuskan mereka untuk menyerah ada satu benih yang menjadi harapan satu-satunya.
Benih Puṇḍarīka yang mereka eluhkan, yang diharapkan dapat bersemai di kubangan lumpur ketidaktahuan. Tiada kepastian apakah ia akan dapat tumbuh berkembang, menjadi sekuntum bunga impian. Kendatipun tiada kepastian, keyakinan akan munculnya seorang suciwan dari kalangan kesatria menjadi modal dasar demi kehidupan yang lebih baik. Puṇḍarīka melambangkan kemurnian di antara mereka yang belum murni, melambangkan keteguhan di antara mereka yang masih goyah, melambangkan kejayaan di antara mereka yang masih kalah.
Munculnya sosok ini menjadi awal di mana perubahan dimulai, cara pandang yang semula bengkok perlahan tertata menjadi lurus, cara pikir yang semula keliru perlahan tertata menjadi benar. Kehidupan yang lebih baik yang didamba setiap insan mesti berdasar pada nilai-nilai ajaran kebenaran yang telah dikumandangkan oleh Beliau Yang Maha Bijaksana. Pandangan yang lurus, pemikiran yang benar bila dijadikan sebagai dasar dalam melakukan segala tindakan, akan membuahkan buah manis di kemudian hari. Bukankah ‘buah manis’ ini yang dicari, yang dikejar sampai harus mengorbankan nyawa. Semogalah kehidupan yang akan datang tidak semenderita dan semenyakitkan kehidupan ini.